Apa yang Anda cari disini.?

Laman

Minggu, 19 Januari 2014

Dari Desa Untuk Indonesia Mandiri Energi

Berkenaan dengan tema Mengapa Pengembangan Energi Alternatif Terkendala? yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul Desa Mandiri Energi di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya setuju karena melihat potensi yang ada di pedesaan Indonesia, baik dari keadaan masyarakat maupun lingkungan sangat mungkin dalam pengembangan energi alternatif untuk kemandirian rakyat khususnya biogas. Bahkan pengembangan desa mandiri energi di 58.400 desa (desa non-perkotaan) di Indonesia bahkan bukan tidak mungkin akan terwujud.
Sahabat Kaum Muda Bicara Indonesia, coba kita cermati akan potensi biogas. Mengenai biogas secara garis besar adalah suatu gas metan yang dapat digunakan sebagai sumber energi, baik itu energi panas (memasak) maupun penggerak mesin yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik biomasa dan tentunya dapat diadakan kembali dalam waktu yang singkat dalam suatu ruang yang dinamakan biodigester.

Di sini dapat kita uraikan mengenai berbagai sumber gas metan (CH4) yang dapat diperbaharui, sudah banyak yang mengurai dan membahas tentang biogas dari kotoran / limbah ternak yang biasanya dari kotoran sapi, kerbau, kambing sampai ayam. Menurut laporan Asian Biomass Handbook, sejak tahun 1950-an pemerintah Cina mendorong biometanasi skala kecil menggunakan limbah hewan dan pertanian sebagai bahan baku. Hingga 2006, sekitar 20 juta keluarga di daerah pedesaan menggunakan biometana untuk memasak dan penerangan. Subsidi sebesar 2,5 miliar RMB dari pemerintah untuk pembangunan biometanasi berskala kecil, sehingga satu biometanasi skala kecil bisa mendapatkan subsidi 800-1200 RMB atau setara dengan 1.600.000 – 2.400.000 rupiah. Pemerintah Cina berencana untuk membangun 30 juta digester biometana pada tahun 2010 dan 45 juta digester biometana pada tahun 2020. Untuk perencanaan pembangunan biometan skala kecil ini, diperlukan luas area untuk digester sekitar 6-8 m2. Output tahunan mencapai 300 m3, sedangkan biaya dari setiap digester biometana adalah 1500-2000 RMB atau setara dengan 3.000.000 – 4.000.000 rupiah. Selain sebagai penyedia energi, biometana di Cina juga memiliki karakteristik yang pertama adalah ramah lingkungan, karena untuk setiap digester biometana kapasitas 3-10 m3 membutuhkan air seni 5-8 ekor babi atau 2000-3000 ayam. Yang kedua residu di dalam digester dapat juga digunakan sebagai pupuk dan yang ketiga pastinya lebih ekonomis karena tidak perlu membeli listrik atau membayar pekerja yang mencari kayu bakar, selain itu juga menghemat kayu.

Hasil biometana digester biasanya sekitar 0,2 - 0,25 m3 / (m3.d). Sehingga  output tahunan digester 10 m3 sekitar 600 m3 biometana. Biasanya nilai kalor (panas) dari 1 m3 biometan setara dengan 3,3 kg batubara mentah.

Seperti yang telah disebutkan di atas, konsumsi tahunan biometana mencapai 5 juta setara dengan batu bara di Cina. Hal ini jelas bahwa biometana memainkan peranan penting dalam penyediaan energi di pedesaan.

Jika kita cermati dari laporan di atas sahabat, bisa dikatakan Cina cukup sukses menerapkan limbah hewan ternak sebagai bahan baku biometan skala kecil untuk penyediaan energi di pedesaan, maka di Indonesia juga sangat mungkin untuk diterapkan. Namun pedesaan di Indonesia juga dilihat dari pola lingkungan kehidupan dan geografi masyarakat yang ada, karena tidak semua rumah tangga memiliki peliharaan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan ayam yang mana kotoran dari ternaknya dapat dijadikan sebagai bahan baku biogas. Kebanyakan peternak sapi hanya memanfaatkan untuk produksi daging dan susu sapi perah, sudah beberapa tahun ini mulai dibangun instalasi-instalasi biodigester untuk pembangkit biogas di area peternakan, seperti contohnya di daerah Jabung, Malang, karena daerah Malang ini terletak di area lereng pegunungan sehingga mempengaruhi keadaan lahan yang mudah ditumbuhi oleh rerumputan dan memungkinkan area ini tepat untuk peternakan, sehingga potensi pengembangan peternakan, susu sampai biogas juga sangat bagus. Dikutip dari website BIRU, sejak KAN (Koperasi Agro Niaga) yang dulunya KUD Jabung, kini telah mampu menjadi lembaga yang berpengalaman dalam pengembangan biogas menurut studi kelayakan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Namun dari sini muncul permasalahan baru, bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai ternak khususnya sapi, kerbau dan kambing seperti yang disebutkan di atas lantaran letak geografis yang juga sangat mempengaruhi dari produksi ternak itu sendiri, meskipun bagus namun tidak sebagus dan tidak sepotensial daerah pegunungan seperti di Malang?

Maka kita kembali ke pembahasan awal di atas, bahwasanya biometan tidak hanya bisa diproduksi dari limbah peternakan saja, akan tetapi pada intinya adalah limbah organik lain yang dapat didegradasi oleh mikroba dan menghasilkan gas metan (CH4) juga masih memiliki potensi, termasuk salah satunya adalah limbah atau residu dari pertanian dan hal ini tentunya memiliki potensi yang lebih besar di Indonesia jika dapat diubah menjadi energi.

Seperti yang kita tahu sahabat Kaum Muda Bicara Indonesia, limbah pertanian di Indonesia sangat tidak terpelihara, misalnya jerami yang kebanyakan kasus langsung dibakar setelah melalui proses blower sehingga menyebabkan polusi udara, tanah dan mengganggu kesehatan. Dari uraian di atas, mengapa jerami ini tidak kita olah menjadi energi biometan / biogas? Meskipun sudah ada teknologi sendiri yang menangani tentang jerami untuk dikonversi menjadi energi bioetanol, namun untuk produksi bioetanol dari jerami ini masih banyak mengalami kendala, termasuk biaya yang relatif masih mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena harus melewati pretreatmen terlebih dahulu pada jerami agar diperoleh hidrolisat yang siap untuk difermentasi menjadi alkohol sampai pemurniannya, serta kesiapan dari bangsa kita yang perlu dievaluasi apakah sudah siap mengembangkan bioetanol jerami padahal untuk pengembangan bioetanol dari molase (tetes tebu) saja kita masih merintis di beberapa perusahaan yang ada di Indonesia dalam beberapa tahun ini. Pretreatmen dilakukan karena di dalam jerami mengandung monomer glukosa, yang mana ikatan monomer-monomer ini masih berikatan kuat yang biasa kita sebut dengan ikatan polimer. Lignoselulosa yaitu ikatan polimer yang dimaksud, yang mana terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Sehingga pengambilan gula harus melalui proses pemecahan lignoselulosa tersebut, yang mana proses ini memerlukan biaya lagi agar hidrolisat dari jerami dapat diperoleh untuk bisa difermentasi.

Dalam laporan Asian Biomass Handbook, pemrosesan bioetanol dari jerami di Thailand melalui beberapa tahap, seperti membutuhkan SHF (Seperate, Hydrolisis and Fermentation) atau Pemisahan, Hidrolisis, dan Fermentasi, yang kompleks dan melibatkan pra-perlakuan, fraksinasi, delignifikasi, hidrolisis dan fermentasi. Cara lainnya adalah pra-perlakuan dengan ledakan uap (steam explosion) yang sesuai untuk menghasilkan hidrolisat yang dapat dicerna secara enzimatis dan difermentasi di dalam reaktor tunggal melalui metode SSF (Simultaneous Saccharification and Fermetation) atau Sakarifikasi dan Fermentasi yang Simultan. Tujuannya adalah untuk mencari SSF yang sesuai menggunakan enzim selulase yang tersedia secara komersial dan mikroorganisme yang tersedia di pasar Thailand.


Jika dalam laporan tersebut dikembangkan di Indonesia, bisa saja berkembang. Meskipun sudah banyak pengembangan yang dilakukan, hal yang harus tetap diperhatikan dan dianalisis adalah keefisienan dari segala aspek, bukan hanya efektifitas dari pengembangan itu tercapai tidaknya. Sehingga jalan mana yang terbaik dapat ditemukan dan jalan itulah yang pada akhirnya dipakai, karena selain efektif juga lebih efisien dan pastinya harus tetap pro-rakyat.

Potensi produksi jerami padi per hektar kurang lebih 10 – 15 ton, jerami basah dengan kadar air kurang lebih 60% (Isroi, 2009). Sedangkan menurut data BPS tahun 2006 dalam Isroi, luas sawah di Indonesia adalah 11,9 juta hektar. Artinya, potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton.


Dari penulis berpandangan, akan lebih efisien jika jerami diolah langsung untuk dijadikan bakan baku (feed) untuk biogas karena proses fermentasi lebih sederhana yaitu cukup dengan menambahkan kotoran ternak sebagai syarat suplai bakteri / mikroba untuk memfermentasi bubur jerami dalam bioreaktor / biodigester dan didiamkan secara anaerob agar fermentasi untuk menghasilkan gas metan dapat dipanen.

Untuk lebih jelasnya dapat diilustrasikan dalam video 1 di bawah ini yang menguraikan bagaimana pembuatan biogas dari jerami dalam skala besar. Namun sahabat Kaum Muda Bicara Indonesia, yang penulis maksud adalah tetap skala kecil karena metode yang penulis capai adalah untuk tujuan pro-rakyat yang  langsung dapat diaplikasikan.


Dari video di atas semoga dapat menjelaskan apa yang penulis maksud.
Sedangkan penerapan untuk biodigester skala kecil dapat dilakukan dengan menggunakan biodigester portabel berukuran kecil namun tidak sebesar landfill, yang mana biodigester ini mudah dalam pembuatannya dan membutuhkan biaya tidak sebesar landfill.
Untuk lebih jelasnya, mungkin video 2 dapat memberi gambaran dari yang penulis maksud. Video ini menjelaskan keadaan biogas yang sederhana di India. Meskipun dalam skala kecil dengan feed dari limbah domestik rumah tangga, namun masih dapat menyuplai kebutuhan energi untuk memasak sehari-hari. Bahkan nyala api yang dihasilkannya berwarna biru, hal ini membuktikan bahwa limbah rumah tangga masih dapat dijadikan sumber gas biometan yang baik.


Bicara tentang Kaum Muda Bicara Indonesia, pernahkah kita memikirkan dan menyadari akan hal besar ini untuk bangsa? Terutama kita yang dari kalangan Mahasiswa. Namun tetap tak akan lepas proyek ini dari peran lembaga pemerintah pusat-daerah, akademis dan masyarakat, sehingga kalimat Dari Desa Untuk Indonesia Mandiri Energi bukan menjadi judul artikel belaka. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan berikan pada bangsa ini, seperti kata Mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, ”Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu”.
Yah, kalimat bijak yang cukup memotivasi kita para Kaum Muda Bicara Indonesia. Mari kita renungkan kembali sekilas cerita artikel saya di atas, semoga dapat memberi manfaat dan pencerahan untuk kita semua serta menyadarkan bahwa Indonesia adalah benar adanya yaitu bangsa yang besar. Salam Indonesia.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.

6 komentar:

  1. Potensi pengembangan energi alternatif di Indonesia memang sangat besar, tapi sayangnya peluang itu tidak mendapat skala prioritas bagi pemerintah, padahal semakin lama penduduk semakin banyak dan kebutuhan energi semakin membengkak pula, solusi yang anda tawarkan memang seharusnya disikapi oleh pemerintah, nice post.

    Ditunggu juga kunjungan dan jejaknya di blog saya
    http://rakaraki.blogspot.com/2014/01/kompetisi-blog-kaum-muda-bicara.html

    BalasHapus
  2. setuju, tapi memang harus ada teladan/contoh nyatanya, jujur saya sendiri kesulitan menemukan video atau gambar percontohan desa mandiri energi di website kementerian ESDM, ya kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mgkin dr kementrian ESDM masih proses kang, tp yakin perubahan dr desa ini adl langkah awal menuju Indonesia benar" mandiri khususnya di bidang energi dan pangan. Mari kita berjuang untuk NKRI kang. :-) oh ya do'akan jg ya semoga saya nanti bisa membawa perubahan di tanah kelahiran saya, InsyaALLOH jd Bupati Energi dulu. hehe. . :-) aaamiiin. .

      Hapus
  3. Indonesia punya banyak potensi, khususnya dari desa2 yg tertinggal..
    tanpa kita sadari desa2 ini memiliki potensi besar untuk membentuk Indonesia mandiri energi

    mampir juga di blog saya :
    http://portalmahasiswa.com/macan-asia-yang-tertidur/

    (Fight Dreamer)

    BalasHapus
  4. tulisannya sangat mendorong kpd kami yang telah 5 tahun mengikhtiarkan secara manajemen usaha tapi tujuan sama, mandiri energi masyarakat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kah.? wah saya sangat senang, krn mimpi saya jg ingin memandirikan Bangsa kita agar tak tertinggal dengan negara spt India yg sudah cukup bisa dibilang mandiri (meskipun dalam tanda kutip mereka berkembang dan mandiri dengan metode biogas SEDERHANA, tapi itu SANGAT-SANGAT membantu negara mereka dalam menghemat APBN khususnya utk energi/BBM).

      Hapus

Terima kasih telah meninggalkan lapak Anda disini.